Jakarta.- Indonesia Halal Watch (IHW) menilai tindakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan PT Sucofindo sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) tanpa memperoleh akreditasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Direktur Eksekutif IHW Dr. Ikhsan Abdullah menyatakan, “sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dalam Pasal 12 menyatakan bahwa LPH dapat didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, yang harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana di atur dalam Pasal 13, yaitu memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 orang dan memiliki laboratorium atau kesepakatan kerjasama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium,” kata Ikhsan dalam siaran persnya, Kamis (3/9/2020).
Sebabnya sambung Ikhsan, LPH wajib memiliki 3 orang auditor halal. Auditor halal sesuai UU JPH yaitu orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Selain harus memiliki sertifikasi dari MUI, diluar UU JPH ternyata masih terdapat ketentuan Peraturan Pemerintah yang mensyaratkan adanya kerjasama antara BPJPH dan MUI dalam melakukan sertifikasi auditor halal, sebagaimana yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH (PP JPH).
“Berkaitan dengan ketentuan UU JPH dan PP JPH, maka diperlukan adanya suatu kerjasama yang baik antara BPJPH dan MUI untuk dapat melakukan akreditasi terhadap pendirian suatu LPH. Ini artinya bahwa LPH tidak bisa didirikan oleh BPJPH semata, tetapi juga diperlukan kerjasama dengan MUI dalam hal akreditasi,” ujarnya.
Berkaitan dengan pendirian LPH PT. Sucofindo, lebih lanjut Direktur Eksekutif IHW menilai, saat ini bermasalah mengingat proses pendiriannya yang tidak lazim dilakukan, yakni pendirian PT. Sucofindo sebagai LPH, dari proses hingga akreditasi tidak dilakukan bersama-sama antara BPJPH dan MUI, tetapi hanya dilakukan oleh BPJPH, sehingga sampai dengan hari ini LPH Sucofindo tidak dapat melakukan aktivitasnya sebagai LPH. Otomatis tidak dapat melakukan kegiatan pemeriksaan produk halal baik didalam maupun luar negeri.
Hal ini sangat disayangkan, ada proses yang invalid sehingga menimbulkan kerugian bagi Sucofindo. “Sebagai BUMN, Sucofindo juga seharusnya taat dan patuh terhadap prinsip Good Corporate Governance (GCG), artinya sebelum melangkah lazimnya perlu memahami benar ketentuang UU JPH dan PP serta ketentuan yang berkaitan dengan proses pendirian LPH, karena berkaitan dengan penggunaan uang dan fasilitas negara,” ungkap Ikhsan.
Demikian pula BPJPH, ia mengungkap, di masa yang akan datang tidak boleh melakukan trial and run, sebagai lembaga pelaksana sistem jaminan halal di Indonesia dan badan yang dibentuk resmi oleh Pemerintah sesuai UU JPH, tentu juga harus memperhatikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan tidak dibenarkan sama sekali melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berkaitan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), karena bukan saja dapat menimbulkan distorsi atau tergerusnya kepercayaan publik kepada Pemerintah, tetapi juga dapat merugikan dunia usaha dan masyarakat. Selain juga harus memperhatikan prinsip-prinsip Maqashid Syarian dalam penyelenggarakan system jaminan halal.
Sebagai akibat dari tindakan BPJPH yang cenderung tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, maka dapat menimbulkan kerugian bagi Sucofindo sebagai calon LPH yang terpaksa harus menunggu Putusan Pengadilan. “Mengingat saat ini BPJPH sedang menghadapi gugatan dari masyarakat atas keputusannya menetapkan Sucofindo sebagai LPH yang tidak dilakukan bersama-sama MUI. (El)